Sabtu, 16 Agustus 2008

Konflik Etnik di Kumai

RINGKASAN HASIL PENELITIAN
MELACAK KONFLIK ETNIK ANTARA ETNIK MELAYU
DAN ETNIK MADURA
(Studi Kasus Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah)
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi

ABSTRACT
Conflict desribes a situation in which two or more actors pursue incompatible, yet from their individual perspectives entirely just, goals. Ethnic conflicts are one particular form of such conflict; that in which the goals of at least one conflict party are defined in (exclusively) ethnic terms, and in which the primary fault line of confrontation is one of ethnic distinctions. Whatever the concrete issues over which conflict erupts, at least one of the conflict parties will explain its dissatisfaction in ethnic terms—that is, one party to the conflict will claim that its distinct ethnic identity is the reason why its members cannot realise their interests, why they do not have the same rights, or why their claims are not satisfied. Thus, ethnic conflicts are a form of group conflict in which at least one of the parties involved interprets the conflict, its causes, and potential remedies along an actually existing or perceived discriminating ethnic devide. 
Ethnic conflict in West Kotawaringin—which involved two ethnics, Madurese and Malayan—is an evident that relationship of ethnic in Indonesia has latent potential which should be alerted, because it will errupt at any time. This research has purpose to search deeply background of conflict that happened in Kumai and Pangkalan Bun. Based on the reseacrh we will get an explaination in detail so that we can prevent conflict in the future.
Keywords: konflik etnik, Melayu, Madura, stereotip, prasangka, etnosentrisme.
A. Latar Belakang
Secara geografis, Indonesia adalah negeri paling terpecah-pecah di planet bumi ini dengan 17.508 pulau-pulaunya. Setiap pulau didiami oleh satu atau beberapa kelompok etnis selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dari segi kultur Indonesia merupakan negara yang paling multikulural di dunia. Ada sekitar 350 kelompok etnis dengan budaya dan bahasa masing-masing, dengan komposisi utamanya sebagai berikut: Jawa 41,71%, Sunda 15,41%, Melayu 3,45%, Madura 3.37%, Batak 3,02%, Minangkabau 2,72%, Betawi 2,51%, ditambah dengan kelompok-kelompok etnis lain yang jumlahnya lebih kecil. Dari sudut agama, kecuali agama Yahudi, Indonesia mempunyai semua agama besar di dunia: Islam 85%, Kristen 10%, Hindu 2%, Budha 0,9%, ditambah dengan agama Khong Hu Cu dan kepercayaan lain yang jumlahnya kecil. Dari sudut kependudukan Indonesia adalah negara nomor empat terbesar di dunia, sesudah Cina, India dan Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa.  
Komposisi di atas memberikan gambaran betapa kompleksnya persoalan bangsa Indonesia. Yang tentu saja akan berpeluang munculnya konflik-konflik etnik di Indonesia, akibat munculnya fanatisme kesukuan. Dan memang terbukti kemudian, bahwa pasca 1980-an , konflik-konflik di Indonesia ditandai dengan konflik-konflik yang bernuansa agama dan suku. Konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (kerusuhan Sampit, Kotawaringin Timur; kerusuhan Kumai, Kotawaringin Barat) adalah bukti dari konflik yang bernuansa agama dan etnik di Indonesia. 
Menanggapi konflik-konflik di atas, Dr. H. Muhaimin, AG., M.A., dalam sebuah pernyataannya mengatakan bahwa "ketegangan yang muncul belakangan menunjukkan betapa tidak sejatinya harmoni antaragama dan kedamaian sosial yang kita miliki." Hal senada diungkapkan oleh seorang antropolog asal Universitas Utrecht, Belanda, Prof. Dr. Martin van Bruinessen. Menurutnya, predikat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sopan, santun, suka menolong, cinta damai, gotong royong, dan sebagainya, tampaknya perlu dipertanyakan kembali.  
Selama sejarah Nusantara, etnik-etnik di Indonesia mempertahankan identitas masing-masing. Selain tempat-tempat yang terpisah secara geografis, juga karena adanya pengaruh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Etnik-etnik yang terpisah secara geografis atau sosial-budaya yang berbeda, mempunyai dan mengembangkan pengalaman psikologis masing-masing, yang pada gilirannya menghasilkan identitas etnik masing-masing juga. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian berkembang sikap-sikap eksklusivisme untuk mempertahankan identitas keetnikannya dan mengkristal menjadi semacam "identitas tertutup" (closed identitiy). Apa pun yang berasal dari luar identitas etniknya dianggap sebagai sesuatu yang "asing", yang mengancam, yang mengganggu, sehingga harus disingkirkan. Ini sesungguhnya bahaya laten yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan dan tampil sebagai konflik terbuka. 
Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia memang berhasil diredam. Tetapi jangan lupa, bahwa pasca kerusuhan sebenarnya menyisakan apa yang disebut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono sebagai "prasangka etnik", yang sewaktu-waktu menjadi salah satu pemicu konflik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prasangka etnik ini ada pada setiap suku di Indonesia. Bahkan, suku-suku tertentu melekatkan stereotipe-stereotipe tertentu terhadap suku-suku lainnya. Sehingga, sedikit banyak mempengaruhi interaksi sosial mereka. 
Penelitian yang akan dilakukan peneliti berikut ini akan mencoba membuktikan adanya prasangka etnik dan stereotipe tertentu yang dibuat oleh suku-suku yang pernah terlibat konflik di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pengamatan umum menunjukkan bahwa ada perbedaan yang mencolok antara kerusuhan di beberapa daerah, seperti di Maluku dan Poso, dengan di Kotawaringin Barat. Jika di Ambon dan Poso konflik dipicu oleh perbedaan agama (Islam vs Kristen), maka dalam kasus di Kotawaringin Barat, agama tampaknya bukanlah sebagai pemicu konflik. Konflik lebih dipicu oleh etnisitas yang memang sangat kentara di wilayah ini. Secara geografis, Kotawringin Barat dihuni oleh etnis-etnis besar (etnis Jawa, etnis Madura, etnis Melayu, dan etnis Dayak) yang tersebar di beberapa wilayah dan membentuk etnic area. Bahkan, Kotawaringin Barat, entah ini alami atau direncanakan sedemikian rupa, terbentuk wilayah-wilayah yang didominasi oleh etnik Madura dan etnik Melayu saja. Di Kecamatan Kumai. 
 Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif, penelitian ini terfokus pada dua etnik, yakni etnik Melayu dan etnik Madura. Perlu digarisbawahi, konflik kedua suku ini terbilang kecil dibandingkan dengan konflik Madura dan Dayak. Di Kalimantan Barat, konflik Madura vs Melayu hanya terjadi dua kali dari empat belas kasus (Parit Setia, Sambas, tahun 1999, dan Kota Pontianak, 2000). Sedangkan di Kotawaringin Barat, konflik antara Melayu dan Madura terjadi di Kecamatan Kumai. 
Yang sangat menarik dari etnik Melayu dan etnik Madura adalah fakta bahwa keduanya sama-sama Muslim. Dalam ritual-ritual keagamaan kedua etnik ini cenderung mengikuti Nahdlatul Ulama (NU). Idealnya, karena mereka seagama dan sefaham, tidak mungkin timbul prasangka apalagi konflik. Tetapi, fakta berbicara lain, kedua etnik ini sempat bermusuhan dengan memakan korban jiwa, meskipun tidak separah daerah-daerah lain di Kalimantan. Dari konflik ini mengindikasikan bahwa mereka menyimpan prasangka dan stereotipe tertentu. Karena itu, penelitian mendalam terhadap kedua etnik ini mutlak dilakukan untuk melacak lebih dalam dan komprehensif mengenai kedua etnik tersebut. 
B. Fokus Penelitian
Setelah melakukan penjelajahan umum pada obyek yang akan diteliti, maka fokus tempat penelitian adalah Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat dan etnis yang diteliti adalah etnis Melayu dan etnis Madura. Kemudian fokus penelitian diarahkan pada:
1. Deskripsi etnik Melayu dan etnik Madura
2. Konteks-konteks yang memfasilitasi konflik (facilitating contexts)
3. Akar permasalahan konflik etnik
4. Sumbu konflik etnik
5. Pemicu konflik etnik
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana deskripsi etnik Melayu dan etnik Madura, khususnya bagaimana kedua etnik ini mendeskripsikan dirinya sendiri dan orang lain yang berbeda etnik?
2) Bagaimanakah konteks-konteks yang memfasilitas konflik etnik?
3) Sejauhmanakah akar permasalahan konflik etnik sehingga muncul ke permukaan?
4) Bagaimana sumbu konflik etnik?
5) Bagaimana pemicu konflik etnik itu bekerja?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini untuk melacak konflik etnik antara etnik Melayu dan etnik Madura. Namun, secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1) Deskripsi spesifik etnik Melayu dan etnik Madura, sehingga diperoleh gambaran-gambaran yang komprehensif dari kedua etnik tersebut.
2) Konteks-konteks yang memfasilitasi terjadinya konflik. Dalam hal ini, facilitating contexts dapat dibedakan dalam dua konteks: konteks lokal dan konteks nasional. Setiap konteks ini tentunya mempunyai kontribusi besar terjadinya konflik di wilayah penelitian.
3) Akar permasalahan konflik. Selama ini dua etnik di wilayah penelitian terkenal rukun aman, damai, saling menghargai, gotong royong, bahkan perkawinan antaretnik sudah lazim terjadi. Tetapi, mengapa terjadi konflik?
4) Mengetahui sumbu konflik etnik. Ini penting untuk melacak "tunggangan-tunggangan" yang terlibat dalam konflik.
5) Mengetahui pemicu konflik yang dominan dan pengaruhnya terhadap relasi etnik pasca konflik.
E. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat praktis dan teoritis.
1. Manfaat Praktis
 Bila deskripsi kedua etnik telah dijelaskan secara gamblang, maka akan bermanfaat untuk menentukan pola hubungan yang tepat untuk menjaga keharmonisan hidup kedua etnik.
 Bila konteks-konteks yang memfasilitasi konflik ditemukan, maka dapat bermanfaat untuk mengeliminasi konteks-konteks tersebut.
 Bila akar permasalahan konflik berhasi diidentifikasi, maka akan mempermudah bagi pihak-pihak yang berkompeten (tokoh masyarakat, pemerintah) untuk bersama-sama menciptakan saling kesapahaman dan saling pengertian.
 Bila sumbu konflik ditemukan, maka akan mempermudah untuk "memutus" sumbu tersebut sehingga tidak menjalar berkepanjangan. Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berkompeten mempunyai pedoman dalam menentukan arah dan tujuan kebijakan yang dapat menguntungkan kedua etnik. 
 Bila pemicu konflik ditemukan, maka akan mempermudah bagi kedua etnik untuk saling menyadari faktor-faktor pemicu tersebut, dan selanjutnya kedua belah pihak dapat membangun relasi yang saling menguntungkan. Di lain pihak, kedua belah pihak dapat mengeliminasi bahkan menghapuskan pemicu-pemicu konflik dan kemudian membangun sebuah tatatan yang penuh kedamaian, keharmonisan,kerukunan, dan seterusnya.
2. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah "teori baru" dalam konteks ke-Indonesiaan terutama pada aspek pengembangan sistem pendidikan, perencanaan pembangunan, perencanaan tenaga kerja, serta pengembangan yang mengarah pada pentingnya saling kesepahaman antaretnis di Indonesia.
F. Kerangka Konseptual 
Suatu konflik sosial biasanya terjadi karena bertemunya empat elemen utama dalam waktu yang bersamaan. Keempat elemen itu ialah facilitating contexts (kontek pendukung), core (root) of conflict (akar konflik), fuse factor (sumbu), dan triggering factors (pemicu). 
Dalam suatu konflik sosial yang bernuansa etnis, konteks pendukung (facilitating contexts) itu dapat berupa pola pekerjaan atau pemukiman yang terpisah berdasarkan garis etnis antara etnik-etnik yang akan terlibat konflik, atau kompetisi perkembangan demografi yang bersifat ekonomis, atau urbanisasi yang berdampak menggusur penduduk lokal (asli) tertentu, dan lain-lain. Keadaan ini sangat pas dengan demografi ekonomi yang ada di Kecamatan Kumai, di mana telah terbentuk wilayah-wilayah ekonomi yang didominasi oleh etnik tertentu, sehingga menyisihkan penduduk lokal.
Core of conflict (akar konflik), biasanya adalah suatu tingkat social deprivation (penderitaan sosial) atau marginalisasi sosial yang tidak dapat ditolerir lagi dalam perebutan sumber-sumber daya (resources) maupun kekuasaan (power). Pembuatan batas akhir toleransi itu biasanya dilakukan karena intensitas deprivasi itu sendiri yang tidak tertahankan lagi atau lamanya waktu deprivasi itu berlangsung, seperti penguasaan sebagian terbesar lahan dan hasil pertanian suatu kelompok masyarakat tertentu, atau penguasaan jabatan-jabatan publik tertentu dalam waktu yang berkepanjangan. Apabila kelompok-kelompok yang mendominasi dan terdeprivasi itu kebetulan berasal dari kelompok etnik yang berbeda maka konflik yang terjadi dapat bergerak menjadi bernuansa etnik.
Fuse factor (sumbu), biasanya juga sudah ada di sana, tetapi tidak dengan sendirinya menyala menjadi konflik jika tidak tersulut atau disulut. Sumbu konflik bisa berupa sentimen suku, ras, keagamaan, dan lain-lain.
Triggering factors (pemicu) adalah peristiwa atau momentum di mana semua elemen di atas diakumulasikan untuk melahirkan konflik sosial. Momentum itu bisa terjadi hanya berbentuk pertengkaran mulut atau perkelahian kecil antara dua individu mengenai sesuatu hal yang amat remeg atau jauh dari akar konflik, tetapi berfungsi menjadi pembenar bagi dimulainya suatu konflik yang berskala lebih besar. Berkenaan dengan dampak dari ini, Atho Mudzhar menulis:
Dampak suatu konflik bergantung pada tataran apa akar konflik itu berada dan terjadi. Jika akar konflik itu berada pada tataran instrumental, biasanya konflik itu akibatnya tidak terlalu luas dan dapat segera berhenti. Tetapi jika akar konflik itu berada pada tataran ideologi, biasanya akibatnya lebih besar bahkan mengerikan dan dapat berlangsung dalam waktu yang lama. 

Faktor penting yang tidak bisa diabaikan dalam memicu konflik adalah prejudice (prasangka). Rupert Brown dan Lorella Lepore mendefinisikan prejudice sebagai "the holding of derogatory attitudes or beliefs, the expression of negative effect or the display of hostile or discriminatory behavior toward members of a group on account of their membership in that group" (sikap atau kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk merendahkan orang lain, pernyataan negatif, atau pengungkapan perilaku permusuhan atau diskriminasi terhadap para anggota suatu kelompok masyarakat hanya karena keanggotaan mereka dalam kelompok itu). 
Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang Madura di Kalimantan Barat memandang orang Melayu sebagai "kerupuk" dan orang Dayak sebagai "kafir", sedangkan sebaliknya, etnik lain di provinsi itu memandang orang Madura sebagai kelompok eksklusif yang agresif dan selalu membawa clurit. Itulah sebabnya pertikaian antaretnik di Kalimantan Barat bisa berlangsung sampai beberapa dekade. Dalam kasus yang sama di Kotawaringin Barat, kedua etnis ini sesungguhnya mempunyai prasangka etnik dan stereotipe sendiri bagi "musuh" etniknya. 
G. Metodologi Penelitian
1. Metode
 Untuk menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Dengan kata lain, realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna. Kriteria data dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar yang terlihat, terucap, tetapi data yang mengandung makna di balik yang terlihat dan terucap tersebut.  
Dalam penelitian yang akan diamati adalah orang, yakni mereka yang beretnis Melayu dan Madura yang menghuni tempat-tempat tertentu, identitas keetnikan mereka (bahasa, religi, kebiasaan, dan sebagainya), aktivitas-aktivitas mereka serta interaksi kedua etnik tersebut dalam kehidupan sosial ekonomi.
Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, lebih kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Penggunaan metode kualitatif ini, bukan karena metode ini baru, dan lebih "trendy", tetapi memang permasalahan lebih tepat dicarikan datanya dengan metode kualitatif. Jika menggunakan metode kuantitatif, maka hanya bisa diteliti beberapa variabel saja, sehingga seluruh permasalahan yang telah dirumuskan tidak akan terjawab dengan metode kuantitatif. Dengan metode kuantitatif tidak dapat ditemukan data yang bersifat proses kerja, perkembangan suatu kegiatan, deskripsi yang luas dan mendalam, perasaan, norma, keyakinan, sikap mental, etos kerja dan budaya yang dianut seseorang maupun sekelompok orang dalam lingkungan sosialnya. Dengan metode kuantitatif hanya dapat digali fakta-fakta yang bersifat empirik dan terukur. Fakta-fakta yang tidak tampaik oleh indera akan sulit diungkapkan. Dengan metode kualitatif, maka akan diperoleh data yang lebih tuntas, pasti, sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. 
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber dan teknik pengumpulan data dalam penelitian disesuaikan dengan fokus dan tujuan penelitian. Dalam penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih, dan mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan pandangan informan, yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dunia dari pendiriannya. Peneliti tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan data yang diinginkan. Untuk maksud ini, sumber data dan teknik pengumpulan data dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, data diperoleh dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan, baik dari buku-buku, artikel-artikel, seminar, dan sebagainya. Kedua, data diperoleh dari lapangan (field reseacrh), yakni data yang diperoleh dari hasil pengamatan, diskusi dengan berbagai pihak yang mempunyai kompetensi dalam bidang yang sedang dikaji, seperti para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan sebagainya. 
3. Teknis Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang dikembangkan oleh Matthew B. Miles dan Michael A. Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. 
H. Hasil Penelitian 
Berkaitan dengan konflik etnik yang terjadi di Kalimantan Tengah (Sampit dan Kotawaringin Barat), beberapa penelitian terdahulu telah berusaha menjelaskannya dengan melihat dari berbagai sudut pandang. Untuk memudahkan analisis kasus dalam penelitian ini, kami menetapkan empat elemen utama yang menyebabkan terjadinya konflik: facilitating contexts (konteks pendukung), core (root) of conflict (akar konflik), fuse factor (sumbu), dan triggering factors (pemicu).
Facilitating Contexts (Konteks Pendukung). Dalam suatu konflik sosial yang bernuansa etnis, konteks pendukung (facilitating contexts) itu dapat berupa pola pekerjaan atau pemukiman yang terpisah berdasarkan garis etnis antara etnik-etnik yang akan terlibat konflik, atau kompetisi perkembangan demografi yang bersifat ekonomis, atau urbanisasi yang berdampak menggusur penduduk lokal (asli) tertentu, dan lain-lain. Keadaan ini sangat pas dengan demografi ekonomi yang ada di Kecamatan Kumai, di mana telah terbentuk wilayah-wilayah ekonomi yang didominasi oleh etnik tertentu, sehingga menyisihkan penduduk lokal.

 Etnik Melayu Etnik Madura


Kelurahan Kumai Hulu
Kumai Hilir
Kubu
Teluk Bogam
Teluk Pulai
Tanjung Harapan Candi
Sei Kapitan
Batu Belaman
Sei Bedaun

Di Kumai dibangun Pasar Cempaka yang diperuntukkan untuk melokalisasi pedagang-pedagang kaki lima (PKL). Para pedagangnya terdiri dari berbagai etnis. Tetapi etnis-etnis yang menonjol dalam perdagangan adalah etnis Jawa, etnis Madura, dan etnis Melayu. Dalam perkembangannya, etnis Madura dan etnis Jawa yang menonjol dan menguasai pasar. Etnis Madura berdagang di bidang sayur-mayur dan kebutuhan bahan pokok lainnya, sedangkan etnis Jawa, selain kebutuhan pokok juga konveksi. Sementara etnis Melayu perlahan-lahan tersisih dan meninggalkan pasar dan beralih profesi lain.
Berkaitan dengan orang Madura, seorang pemuda Melayu menyebut mereka sebagai "Chinanya Indonesia." Mereka sangat ulet dalam bekerja. "Kalau belum sukses mereka rela makan bubur. Sanggup hidup menderita." 
Etnik Madura juga dikenal sebagai orang yang ulet, rajin bekerja, dan memiliki tingkat survival yang sangat tinggi. Warga Madura yang lahir dari kultur tegalan, melihat kerja keras adalah solusi terbaik untuk bisa lolos dari seleksi duniawi maupun akhirat. Dengan banting tulang mereka mengumpulkan uang agar bisa hidup selayaknya manusia dalam kacamata Madura, termasuk membiayai sekolah anak serta naik haji. Akan halnya cara mengumpulkan uang sendiri tidak dipersoalkan sejauh ia punya makna sosial.
"Di daerah ini saya melihat begitu matahari terbit, warga Madura biasanya sudah berangkat ke sawah atau ke kebunnya. Mereka tidak akan kembali sebelum matahari terbenam. Kembali ke rumah, mereka masih tetap bekerja. Merawat sapi hingga larut malam atau pekerjaan lainnya yang bernilai ekonomi."
 Di lain pihak, penduduk asli dimanja oleh alam. Hidup mereka sepenuhnya tergantung pada hutan. Ketika hutan "habis" atau muncul peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi penebangan kayu, maka "hidup mereka seakan sekarat." Seorang informan melukiskannya sebagai "ketika orang-orang Kumai hendak menduduki Kumai sudah dikuasai oleh orang lain. Kayu sudah jauh. Mereka hanya bisa menjadi penonton di arena sendiri." 
Dalam konteks Kalimantan Tengah, pertanyaan yang paling crusial sesungguhnya adalah bagaimana praktik manajemen kehutanan dan permintaan akan hasil kehutanan menciptakan ketimpangan yang menimbulkan (kadang-kadang) konflik. Dengan premis bahwa penebangan hutan ilegal adalah salah satu arena utama tempat konflik berkembang, kami memulai penelitian kami mengenai persoalan ini dan akar-akamya dalam peraturan dan wewenang wilayah yang tumpang tindih. Dengan memetakan jaringan keterlibatan dalam penebangan hutan ilegal, sebuah studi kasus mengenai sebuah wilayah tertentu dilakukan, untuk memahami konteks lokal tempat munculnya dan semakin banyaknya perbuatan ilegal itu. Kami juga bermaksud mengidentifikasi dan menilai upaya-upaya yang diambil sejauh ini untuk mengatasi konflik. Temuan kami di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, menunjukkan adanya kontradiksi antara peraturan pemerintah mengenai hutan, hasil hutan, wilayah, manajemen lokal dan daerah, dengan hak rakyat untuk mencari penghidupan. Kami juga menemukan bahwa konsep adat dan konsep modern mengenai kekuasaan dan ekonomi menjadi persoalan besar, seperti juga halnya dengan konsep milik bersama, pada waktu hasil-hasil hutan semakin banyak masuk jalur perdagangan, yang menimbulkan perubahan pada sikap dan perilaku masyarakat adat. Permintaan pasar, keterlibatan aparat keamanan, dan modal yang tidak jelas memainkan peran dalam mempercepat eksploitasi hutan dan menciptakan keadaan untuk konflik. 
Hutan bagi masyarakat Kotawaringin Barat adalah urat nadi kehidupan mereka. Saat teknologi modern diperkenalkan, maka bersamaan dengan itu terjadilah proses percepatan eksploitasi hutan. Konsekuensinya adalah bahwa hutan semakin menyempit, namun masyarakat lokal tidak mempersiapkan diri mereka dengan skill yang memadai, sehingga ketika mereka harus bertarung dengan etnik lain yang datang ke Kotawaringin Barat dengan modal dan skill yang memadai mereka tersisih. Dalam nada yang sederhana, "menjadi penonton di arena sendiri."
Core of conflict (akar konflik), biasanya adalah suatu tingkat social deprivation (penderitaan sosial) atau marginalisasi sosial yang tidak dapat ditolerir lagi dalam perebutan sumber-sumber daya (resources) maupun kekuasaan (power). Seorang informan mengatakan bahwa pemerintah telah berlaku tidak adil terhadap penduduk lokal (baca: Melayu). Pemerintahan yang didominasi oleh suku-suku pendatang menyebabkan pendistribusian "kue-kue" pembangunan tidak sampai kepada penduduk lokal. 
"Pemerintah hanya bisa melarang kami bekerja di hutan. Tapi kami tidak dimodali. Kan kalau mau berdagang butuh modal. Bank-bank tidak mudah percaya kepada kami. Kalau mau pinjam kredit prosedurnya berbelit-belit. Seharusnya kalau pemerintah melarang kami bekerja di hutan carikan alternatifnya. Bukan hanya bisa melarang-larang saja." 

Pernyataan ini di atas mengindikasikan adanya ketidakpuasan di kalangan orang-orang Melayu terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka. Sejalan dengan regulasi hutan, menyebabkan orang-orang Melayu semakin terhimpit. Mereka tidak mempunyai keterampilan lain selain bekerja di hutan. Sementara pemerintah sama sekali tidak memperhatikan persoalan ini. Sehingga seorang informan dengan nada sinis berkata: "Pemerintah nih kada tapakai. Kami nih kada diurusinya. Bubuhannya hanya mengurusi urang-urang yang sepihak dengannya. Kami kalaparan jin kada tahu. Jangan salahkan jika suatu saat kami-kami nih mahamuk." ("Pemerintah tidak berguna. Kami tidak diperhatikan. Mereka hanya mengurusi orang-orang yang sama dengan mereka. Kami kelaparan tidak tahu. Jangan salahkan jika suatu saat kami akan mengamuk."). 
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sumber-sumber pekerjaan seperti di pelabuhan, perusahaan kelapa sawit, sebelum konflik terjadi memang hanya didominasi oleh orang-orang Madura. Orang-orang Melayu memilih bekerja di tempat lain, seperti penambangan emas secara tradisional dan pekerjaan hutan lain yang penghasilannya tidak sebesar menggarap hutan. 
Frances Stewart membedakan 4 hipotesis ekonomi yang menjelaskan tentang perang antar negara: motivasi kelompok dalam kaitan dengan kesenjangan kelompok; motivasi dan insentif pribadi; kontrak sosial gagal, karena ekonomi gagal dan pelayanan pemerintah buruk; dan perang yang dipicu kerusakan lingkungan, atau 'perang hijau.' Sudah lumrah, jaman sekarang ini, untuk mengatakan bahwa motivasi ekonomi diwakili oleh 'ketamakan' atau 'rasa tidak puas' dan 'kesempatan.' Menurut Stewart, ini terlalu menyederhanakan dan mengabaikan bidang ekonomi, sosial, dan politik sebagai sumber konflik. Uraian di bawah ini menunjukkan bahwa keserakahan, rasa tidak puas dan kesempatan dapat dimasukkan sebagai bagian dari 4 kategori di atas.
Pertama, Motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal. Sebagian besar konflik dalam negeri terdiri dari baku hantam antar kelompok—kelompok yang ingin bebas atau mengambil alih pemerintahan dan kelompok yang menentang ini, karena ingin mempertahankan kendali dalam tangannya, dan integritas nasional. Kelompok-kelompok ini dipersatukan oleh tujuan bersama masing-masing. Meski motivasi perorangan mungkin penting, seperti dijelaskan di bawah, dalam hampir semua konflik politik, motivasi kelompoklah yang penting. Dalam berbagai kasus, kelompok-kelompok yang bertarung memiliki identitas budaya yang sama—yang bersumber, misalnya, pada ikatan kesukuan, 'ras,' atau agama. Bila kelompok juga dibedakan menurut wilayah tempat tinggal, konflik cenderung menjadi konflik separatis. Dalam beberapa hal, kelaslah (yaitu hubungan orang dengan cara produksi), yang membedakan kelompok satu sama lain—meski dalam berbagai konflik akhir-akhir ini yang didominasi kelas (yaitu di Amerika Tengah atau Nepal) sering terdapat elemen budaya. Bila perbedaan budaya disertai perbedaan ekonomi dan politik antara kelompok, ini dapat menyebabkan kebencian yang dalam, .yang dapat berujung dengan konflik kekerasan. Seperti kata Cohen: 'Orang mungkin dan memang berseloroh atau menertawakan adat istiadat yang asing dan lain dari yang lain dari orang dari suku lain, karena adat istiadat ini berbeda dari adat istiadat dia. Tetapi bukan mengenai perbedaan ini saja mereka bertarung. Jika orang memang bertarung, di pihak lain, menurut garis suku, hampir selalu bahwa pertarungan itu untuk memperebutkan hal yang mendasar, menyangkut distribusi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan, apakah kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, atau kedua-duanya.'  
Dalam hal suatu kelompok menderita dari sisi ekonomi, sosial, atau politik dibandingkan dengan kelompok lain dalam masyarakat, para pemimpin dapat menggunakan rasa benci yang timbul akibat kesenjangan yang dialami oleh banyak anggota kelompok untuk mengerahkan dukungan. Dalam hal pemecahan politik tidak mungkin, kelompok mungkin melancarkan perang. Perbedaan antar kelompok, yang disebut kesenjangan horisontal, karena itu dapat menjadi penyebab dasar dari perang. Kesenjangan horisontal terdiri dari sejumlah dimensi—ekonomi, politik, dan sosial. Tidak saja kelompok yang serba kekurangan, tetapi juga kelompok yang menikmati istimewa dapat kadang-kadang terdorong untuk melancarkan perang agar dapat melindungi sumber daya yang menjadi bagiannya dari incaran kelompok yang serba kekurangan. Kesenjangan geografis, terutama bila bertaut dengan perbedaan budaya, sering menimbulkan tuntutan untuk otonomi atau merdeka, seperti terjadi di beberapa tempat di Indonesia.  
Kedua, Motivasi perorangan. Perang membawa keuntungan bagi perorangan, dan juga menimbulkan kerugian. Analisis Collier dan Hoeffler dan Bank Dunia (2000; 2002), seperti diuraikan di atas, memberikan tekanan yang lebih besar pada motivasi pribadi atau perorangan sebagai penyebab dasar konflik. Menurut hipotesis 'motivasi pribadi,' keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh seseorang dari perang akan mendorongnya untuk ikut bertempur. Keen (1998) membuat daftar mengenai berbagai cara perang membawa keuntungan bagi perorangan menurut kategori tertentu manusia. Misalnya, perang memungkinkan orang, terutama anak muda yang tidak berpendidikan, untuk mendapat pekerjaan sebagai serdadu; membuka kesempatan untuk menjarah; mendapat untung dari situasi kekurangan dan dari bantuan; berdagang senjata, dan memproduksi secara ilegal, dan memperdagangkan, madat, intan, kayu, dan barang-barang lain. Bila peluang-peluang lain terbatas, karena pendapatan rendah atau pekerjaan berupah rendah, dan kemungkinan untuk memperkaya diri melalui perang besar sekali. 
Fuse factor (sumbu), biasanya berupa sentimen suku, ras, dan perilaku-perilaku lain yang dilekatkan kepada suku lain. Meminjam teori ilmu sosial ini yang disebut dengan prasangka sosial, yakni sikap kelompok etnik tertentu yang reaksinya terhadap kelompok etnik lain cenderung ke arah negatif (Gardner, 1959) merupakan sikap kelompok etnik yang tidak menyenangkan terhadap kelompok etnik lain dan dapat dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berfikir, berasa, bersikap dan bertindak dengan cara-cara yang "menentang" atau "menjauhi" dan bukan "menyokong" atau "mendekati" kelompok etnik lain (New Comb, T.M, 1981). 
Prasangka sosial ini berhubungan dengan stereotip (stereotype) etnik, merupakan seperangkat sifat yang menjadi atribut kelompok etnik tertentu dari sudut pandang kelompok etnik lain. Prasangka sosial rnenunjuk pada kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang dipelajari oleh para anggota kelompok etnik tertentu dalam berhubungan dengan kelompok etnik lain (O'Donnell, 1991). Prasangka sosial dan stereotip kemudian berpengaruh terhadap tingkah laku diskriminasi; terinternalisasi melalui proses sosialisasi, persuasi, identifikasi dan penyesuaian; berpengaruh terhadap para anggota kelompok etnik lain; dan mempengaruhi penilaian masing-masing anggota antar kelompok etnik, karena mereka merefleksikan penilaian-penilaiannya yang berpengaruh terhadap identitasnya sendiri (Cookie & Walter, 1985). Prasangka sosial ini muncul karena didasari oleh lima hal, yaitu: (1) etnosentrisrne, yaitu merasa etniknya sendiri yang paling baik; (2) terlalu mudah menggenalisir perilaku etnik lain dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terbatas; (3) cenderung memilih stereotip yang mendukung kepercayaannya tentang hubungan dan hak-hak istirnewa apa yang seharusnya dimiliki; dan (4) cenderung mengembangkan prasangka sosial terhadap etnik lain yang bersaing dengannya (Horton, 1980).
 
Konflik antarkelompok juga sangat ditentukan oleh bangunan nilai dan penggunaan simbol yang berbeda antar kelompok tersebut sehingga menimbulkan penafsiran dan rasa yang berbeda untuk dihargai atau menghargai. Menurut pandangan Talcott Parsons, dalam setiap masyarakat harus dipandang secara integratif, dan perilaku sosial suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaannya. Nilai-nilai kebudayaan dan pola-pola lain dapat menjiwai kepribadian, sehingga mempengaruhi struktur kebutuhan yang selanjutnya menentukan kehendak seseorang atau kelompok menerapkan peranan sosialnya. Dalam pandangan Parsons bahwa setiap orang atau kelompok akan dihadapkan kepada variabel pola yang dikotomis, yaitu: (1) afektivitas-netralitas, (2) perluasan kekhususan, (3) universalisme-partikularisme, (4) prestasi-askripsi, (5) pribadi-kolektivitas. Dikotomi-dikotomi tersebut sebagai orientasi nilai yang membatasi kaidah-kaidah suatu sistem sosial dan proses pengambilan keputusan.  
Triggering factors (pemicu): Pendatang
Setelah tiga elemen di atas terakumulasi, maka tinggal memicunya saja. Dalam kasus konflik di Kotawaringin Barat, maka pemicu utamanya adalah para pendatang Madura. Berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh kunci dari etnis Melayu dan etnis Madura, mereka sepakat bahwa orang-orang pendatanglah penyebabnya. 
Seorang ustadz dari suku Melayu mengatakan, "Kami dengan orang-orang Madura memang berbeda dalam adat dan tradisi-tradisi lainnya. Pergaulan kami yang sudah berpuluh-puluh tahun dengan mereka telah menimbulkan saling kesepahaman. Kami tidak ada masalah. Namun semenjak adanya pendatang Madura yang kemudian ditampung oleh keluarga-keluarga mereka di sini, kampung-kampung kami tidak aman. Tiap malam sepeda motor kami hilang. Perampokan, perkelahian, sering terjadi. Dulu tidak ada kejadian seperti ini." 
Di lain pihak, seorang tokoh agama dari suku Madura mengatakan, "Bagi kami, orang Melayu dan Dayak itu berbeda. Apa yang terjadi di Kalimantan Barat dan Sampit, adalah antara orang Madura dan Dayak. Kami di sini hidup berdampingan. Kami sama-sama orang Islam tidak boleh bermusuhan apalagi saling bunuh. Keluarga kami sudah banyak yang menikah dengan orang-orang Melayu. Kami hidup rukun dan damai. Tapi setelah orang-orang Madura pendatang berdiam di sini, lalu ada konflik dengan orang-orang Melayu. Kami sangat menyesalkan perbuatan Madura pendatang tersebut. Karenanya persaudaraan kami dengan orang Melayu hancur. Perlu waktu untuk memulihkan ini semua." 

Penutup
Jelaslah bahwa hubungan antaretnik yang tampak harmonis dan selaras di permukaan tidak selamanya benar. Karena di balik keharmonisan itu sesungguhnya kelompok-kelompok etnik di mana pun di Indonesia tetap menyimpan potensi laten yang sewaktu-waktu akan meledak ke permukaan. Apa yang terjadi di Kotawaringin Barat antara etnik Melayu dan Madura adalah bukti akan tesis ini. []

DAFTAR PUSTAKA
Agus Surata dan Tuhana Taufik Andrianto, Atasi Konflik Etnis (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001); Amu Lanu A. Lingu [ed.], Majelis Adat Dayak Kalteng Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah (Palangkara Raya: Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak, Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan Majelis Adat Dayak Propinsi Kalimantan Tengah, 2002).
Andasputra, Nico & Stepanus Djuweng. 1997. Sisi Gelap Sejarah Kalimantan Barat. Liputan Media Massa Seputar Kerusuhan Dayak-Madura Tahun 1996/1997. Kumpulan Terbitan Media Massa Cetak. Pontianak: Institute Dayakology Research and Development.  
Antlöv, Hans & Sven Cederroth, eds. 1994. Leadership on Java: Gentle Hints and Authoritarian Rule. Richmond: Curzon Press.
Anwar, Dewi Fortuna, Hélène Bouvier, Glenn Smith and Roger Tol, eds. 2005. Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: Yayasan Obor, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, and KITLV. (versi Bahasa Indonesia: Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan.)
Aspen Institute, The. 1995. Managing Conflict in the Post-Cold War World: The Role of Intervention. Proceedings of the Aspen Institute Conference on International Peace and Security, August 2-6. Aspen, CO: The Aspen Institute.
Auvinen, Juha & E. Wayne Nafziger. 1999. The Sources of Humanitarian Emergencies. Journal of Conflict Resolution 43(3): 267-290. 
Auvinen, Juha & E. Wayne Nafziger. 2000. Economic Causes: The Political Economy of War, Hunger, and Flight. In Juha Nafziger, Frances Stewart & Raimo Väyrynen, eds., The Origin of Humanitarian Emergencies: War and Displacement in Developing Countries. Oxford: Oxford University Press.
Baker, Richard W., M. Hadi Soesastro, J. Kristiadi & Douglas E. Ramage, eds. 1999. Indonesia: The Challenge of Change. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 
Bertrand, Jacques, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
Blok, Anton. 1974. The Mafia of a Sicilian Village, 1860-1960: A Study of Violent Peasant Entrepreneurs. Oxford: Basil Blackwell.
Brickman, P. 1974. Social Conflict: Readings in Rule Structures and Conflict Relationships. Lexington, MA: D.C. Heath.
Bruinessen, Martin van, "Konflik Agama di Indonesia: Mencari Akar dan Alternatif Penyelesaiannya", makalah disampaikan dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Pusat Mediasi IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Wageningen University dan Utrecht University, Belanda, Semarang, 3 Agustus 2006.
Bruinessen, Martin van. 2002. Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia. Revised version of paper written for the international colloquium “L’islam politique à l’aube du XXIème siècle” organized in Tehran on October 28-29, 2001 by the Institute of Political and International Studies and the French Institute of Iranian Studies in Tehran. http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/genealogies_islamic_radicalism.htm
Burhan Magenda. 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project. 
Casson, Anne. 2001. Ethnic Violence in an Era of Regional Autonomy: A Background to the Bloodshed in Kotawaringin Timur. RMAP Occasional Paper. Canberra: Resource Management in Asia-Pacific Project, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. 
Collier, Paul, dan Hoeffler, Anke, "Maling, Maling! The Lynching of Petty Criminals", dalam Freek Colombijn dan Thomas Lindblad [ed.], Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective (Leiden: KITLV Press, 2002).
Coser, Lewis A. 1954. Toward a Sociology of Social Conflict. Ph.D. Dissertation, Columbia University. Ann Arbor, MI: UMI. 
Coser, Lewis, A., The Functions of Social Conflict (Glencoe-USA: The Free Press, 1956).
Coser, Lewis. 1956. The Functions of Social Conflict. Glencoe, IL: The Free Press.
Cribb, Robert. 2001. Genocide in Indonesia, 1965-1966. Journal of Genocide Research 3 (2, June): 219-239.
Daulay, Richard M., Dr., Mewaspadai Fanatisme Kesukuan: Ancaman Disintegrasi Bangsa (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Departemen Agama RI, 2003). 
Davidson, Jamie S. 2003. "Primitive" Politics: The Rise and Fall of the Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia. ARI Working Paper No. 9. http://www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm
Davidson, Jamie S. 2003. The Politics of Violence on an Indonesian Periphery. South East Asia Research 11 (1, March): 59-90. http://gottardo.ingentaselect.com/vl=2317201/cl=21/nw=1/rpsv/cw/ip/0967828x/v11n1/contp1-1.htm
Davis, Michael. 2002. Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia. Contemporary Southeast Asia 24(1, April):12-32. 
Emmerson, Donald K., ed. 1999. Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy, Society, Transition. N.p.: M.E. Sharpe.
Horowitz, Donald L. 2000. Ethnic Groups in Conflict. Updated edition with a new Preface. Berkeley: University of California Press. 
Klinken, Gerry van. 2000. Ethnic Fascism in Borneo. Inside Indonesia 68 (June-July). http://www.insideindonesia.org/edit68/kalteng.htm
Klinken, Gerry van. 2002. Indonesia's New Ethnic Elites' (Central and East Kalimantan), p.67-105 in Indonesia: In Search of Transition, edited by Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://www.knaw.nl/indonesia/transition/workshop/chapter4vanklinken.pdf
Kumar, Ann, "The Peasantry and the state on Java: Changes of relationship, seventeenth to nineteenth centuries" dalam James J. Fox et al [ed.], Indonesia: Australian Perspectives (Canberra: Research School of Pasific Studies, 1980).
Kusni, JJ. 2001. Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak. Yogyakarta: FuSPAD. 
Laksono, PM, Theo van den Broek, Budi Susanto, & A. Made Tony Supriatna. 1998. Kekayaan, Agama, dan Kekuasaan: Identitas dan Konflik di Indonesia (Timur) Modern . Yogyakarta: Kanisius.  
Lan, David. 1985. Guns and Rain: Guerrillas and Spirit Mediums in Zimbabwe. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press. 
Lan, Thung Ju, "Program Manajemen dan Transformasi Konflik LIPI" dalam Dewi Fortuna Anwar, Hélène Bouvier, Glenn Smith, dan Roger Tol [ed], Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-LIPI-LASEMA-CNRS-KITLV, 2005).
Laode Ida. 1996. Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 
Le Bon, Gustave. 1895. Psychologie des foules. Paris : Germer Baillière.
Leatherman, Janie, William DeMars, Patrick D. Gaffney, and Raimo Väyrynen, eds. 1999. Breaking Cycles of Violence: Conflict Prevention in Intrastate Crises. West Hartford, CT: Kumarian Press.  
Linz, Juan J., & Alfred Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Lischer, Rarah Kenyon. 1999. Causes of Communal War: Fear and Feasibility. Studies in Conflict & Terrorism 22:331-355.
LMMDD-KT. 2001 (8 March). 'Red Book': Kronologi, Kesepakatan, Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran. Palangkaraya: LMMDD-KT.
Lubis, T. Mulya. 1993. In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia's New Order, 1966-1990. Jakarta: Gramedia.
Lucas, A. 1991. One Soul, One Struggle: Region and Revolution in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
Lynch, Jake. 2001. Reporting the World: The Book. Available for download in .pdf format at http://www.reportingtheworld.org
Lynch, Jake. 2001. Reporting the World: The Findings. A practical checklist for the ethical reporting of conflicts in the 21st Century, produced for journalists, for journalists. Available for download in msword format at http://www.reportingtheworld.org 
Maalouf, Amin. 1998. Les identités meurtrières. Paris : Grasset.
MacFarling, Ian. 1996. The Dual Function of the Indonesian Armed Forces. Canberra: Australia Defence Studies Centre.
Madden, David & Paddy Baron. 2002. Violence and Conflict Resolution in "Non Conflict" Regions: The Case of Lampung, Indonesia. Jakarta: The World Bank. Manuscript.
Mahsun. 2001. Konflik dan Akar Penyebabnya: Pengamatan Awal Terhadap Potensi Konflik di Nusa Tenggara Barat. Seminar Permasalahan Disintegrasi Bangsa dan Upaya Pencegahannya. Mataram, 28 April. Manuscript.
Malinowski, Bronislaw. 1926. Crime and Custom in Savage Society. London: Routledge & Kegan Paul.
Malley, Michael. 2001. Indonesia: Violence and Reform Beyond Jakarta. Southeast Asian Affairs 2001: 159-174.
Mann, Michael. 2000. Were the Perpetrators of Genocide "Ordinary Men" or Real Nazis"? Results from Fifteen Hundred Biographies. Holocaust and Genocide Studies 14(3, Winter):331-366. http://www.sscnet.ucla.edu/soc/faculty/mann/Doc3.pdf
Mann, Michael. 2001. Globalisation As Violence. Later version of: Globalization, Global Conflict and September 11. New Left Review New Series, Dec. 2001. http://www.sscnet.ucla.edu/soc/faculty/mann/globasviol[1].pdf
Mann, Michael. 2004. The Dark Side of Democracy: Explaining Ethnic Cleansing. Cambridge: Cambridge University Press. [Chapter 1: The Argument] http://www.sscnet.ucla.edu/soc/faculty/mann/ETHNIC.pdf
Manning, Chris & Peter van Diermen, eds. 2000. Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Manogoran, O. 1987. Ethnic Conflict and Reconciliation in Sri Lanka. Honolulu: University of Hawai Press.
Margold, Jane. 1999. From 'Cultures of Fear and Terror' to the Normalisation of Violence. An Ethnographic Case. Cultural Anthropology 19(1):63-88.
Mastuhu, Prof. Dr., "Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologis", dalam Mastuhu dan M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa-Pusjalit, 1998).
McKinley, Robert. 1976. Human and Proud of It! A Structural Treatment of Headhunting Rites and the Social Definition of Enemies. Pp. 92-129 in G.N. Appell, ed. Studies in Borneo Societies, Social Processes and Anthropological Explanations. Special Report, Center for Southeast Asian Studies 12. DeKalb: Northern Illinois University.
McPhail, Clark. 1991. The Myth of the Maddening Crowd. New York: Aldine de Gruyter.
Melko, Matthew. 1973. 52 Peaceful Societies. Oakville, Ontario: Canadian Peace Research Institute. 
Michaud, Yves. 1978. Violence et politique. Paris: Gallimard. 
Migdal, Joel S., Aful Kohli & Vivienne Shue, eds. 1994. State Power and Social Forces. Cambridge: Cambridge University Press.
Miles, Douglas. 1976. Cutlass and Crescent Moon: A Case Study of Social and Political Change in Outer Indonesia. Sydney: Centre for Asian Studies, Sydney University.
Miles, Matthew B. dan Huberman, Michael A., Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods (Beverly Hills, London: Sage Publications, 1984).
Monroy, Michel & Anne Fournier. 1997. Figures du conflit: Une analyse systémique des situations conflictuelles. Paris: Presses Universitaires de France. 
Montagu, Ashley, ed. 1978. Learning Non-Aggression: The Experience of Non-Literate Societies. New York: Oxford University Press.
Montagu, Ashley. 1968. Man and Aggression. New York: Oxford University Press.
Montagu, Ashley. 1976. The Nature of Human Aggression. New York: Oxford University Press. 
Mudzhar, Atho, H. M., Dr., "Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa Agama", dalam Moh. Soleh Isre (ed.), Konflik Etnoreligius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Departeman Agama RI, 2003).
Mudzhar, H. M., Dr., Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Nader, Laura & Harry Todd, Jr., eds. 1978. The Disputing Process: Law in Ten Societies. New York: Columbia University Press. 
Nader, Laura, ed. 1997 [1969]. Law in Culture and Society. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Nagel, Joane & Susan Olzak, eds. 1986. Competitive Ethnic Relations. San Diego: Academic Press.
Nagengast, Carole. 1994. Violence, Terror, and the Crisis of the State. Annual Review of Anthropology 23:109-136.
Najib Azca, Muhammad. 2003. The Role of the Security Forces in Communal Conflicts: The Case of Ambon. Thesis submitted for the Master of Arts in Asian Studies. Canberra: Australian National University.
Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1988).
Nombo, Raphael Lengesa. 2001. Conflict Resolution Perspective in Indonesia: What Is To Be Done? The Indonesian Quarterly 24(1):56-62. 
Noorhaidi Hasan. 2002. Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia. Indonesia 73 (April):145-69.
Noorhaidi Hasan. Forthcoming. The Jihad Paramility Force: Islam and Identity in the Era of Transition in Indonesia. PhD Research in Progress. http://www.iias.nl/iias/research/dissemination/phd/noorhaidi.html
Nordstrom, Carolyn & Antonius C.G.M. Robben, eds. 1995. Fieldwork Under Fire: Contemporary Studies of Violence and Survival. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press. 
Nordstrom, Carolyn & JoAnn Martin, eds. 1991. The Paths to Domination, Resistance, and Terror. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.
Nordstrom, Carolyn. 1994. Warzones: Cultures of Violence, Militarization and Peace. Working Paper No. 145. Canberra: Peace Research Centre, Australian National University.
Olzak, Susan. 1994. Dynamics of Ethnic Competition and Conflict. Stanford: Stanford University Press.  
O'Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
Otterbein, Keith F. 1970. The Evolution of War: A Cross-Cultural Study. New Haven: Human Relations Area Files Press.
Otterbein, Keith F. 1994. Feuding and Warfare: Selected Works of Keith F. Otterbein. Langhorne, PA: Gordon and Breach.
Pane, Neta S. 2001. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan, dan Impian. Jakarta: Grasindo.  
Peluso, Nancy Lee & Emily Harwell. 2001. Territory, Custom, and the Cultural Politics of Ethnic War in West Kalimantan, Indonesia. Pp. 83-116 in Nancy Lee Peluso & Michael Watts, eds., Violent Environments. Ithaca & London: Cornell University Press.
Peluso, Nancy Lee & Michael Watts, eds. 2001. Violent Environments. Ithaca & London: Cornell University Press.
Pembantaian Etnis Madura: Tragedi Sampit. n.d. Surabaya: Pena Mas Press.
Pérez, Juan Antonio & Gabriel Mugny. 1993. Influences sociales: La théorie de l'élaboration du conflit. Préface de Serge Moscovici. Neuchâtel: Delachaux et Niestlé. 
Permatasari, Anjasmara Dewi, Prasangka Penduduk Asli Bali terhadap Pendatang Lokal yang Bekerja di Daerah Kuta Bali (Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005).
Petebang, Edi & Eri Sutrisno. 2000. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: ISAI. 
Peyronel, Valérie. 2001. Economie et conflit en Irlande du Nord. Paris : Ellipses.
Pruitt, Dean C. & Jeffrey Z. Rubin. 1986. Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. New York: Random House.
Purdey, Jemma. 2003. Describing Kekerasan: Reconciling the Local and the National. IIAS Newsletter 30(March):25.
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan 1999. Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia. Jakarta: PMB-LIPI.
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. 2000. Etnisitas dan Integrasi di Indonesia: Sebuah Banga Rampai. Jakarta: PMB-LIPI.
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. 2000. Hubungan Antar Etnik di Indonesia: Kasus di Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang dan Surabaya. Jakarta: PMB-LIPI.
Putnam, Robert D. 1976. The Comparative Study of Political Elites. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
Rahma, Indri, Prasangka Suku Bangsa Jawa di Jakarta terhadap suku Bangsa Batak dan Minang (Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005).
Ramadhan, D., Perbedaan Prioritas Tipe Nilai Motivasional Orang Dayak dengan Orang Madura di Kalimantan Barat: Studi Deskriptif pada Orang Dayak di Kecamatan Sanggau Ledo dan Orang Madura di Kecamatan Roban, Kalimantan Barat, skripsi (Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001).
Ramage, Douglas. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and Ideology of Tolerance. London: Routledge.
Research Institute for Rural and Regional Development, Gadjah Mada University & Department of Religion. 1997. Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta: idem.
Reyna, S.P. & R.E. Downs, eds. 1994. Studying War: Anthropological Perspectives. Langhorne, PA: Gordon & Breach.
Reynal-Querol, M. 2001. Ethnicity, Political Systems and Civil War. Bellatera-Barcelona: Institut d'Analisis Economic, Campus de la UAB.
Rhode, David. 2001. Indonesia Unraveling? Foreign Affairs 80(4, July/August):110-24. 
Riches, David, ed. 1986. The Anthropology of Violence. Oxford: Basil Blackwell.  
Ricklefs, M.C. 1993. War, Culture and Economy in Java, 1677-1726: Asian and European Inperialism in the Early Kartasura Period. Sydney: Allen & Unwin.
Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim [ed.], Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas (Jakarta: PT. Grasindo-Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2001). 
Robinson, Geoffrey Basil. 1992. The Politics of Violence in Modern Bali, 1882-1966. 2 vols. Unpublished PhD thesis, Cornell University. Ann Arbor: UMI (no. 9300672).
Robinson, Geoffrey Basil. 1995. The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca, New York & London: Cornell University Press.
Robinson, Geoffrey Basil. 1998. Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Aceh. Indonesia 66:127-56.
Robison, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin.
Rosaldo, Renato. 1980. Ilongot Headhunting, 1883-1974: A Study in Society and History. Stanford, CA: Stanford University Press.
Ross, Marc H. 1993. The Management of Conflict: Interpretations and Interests in Comparative Perspective. New Haven: Yale University Press.
Rupesinghe, Kumar, ed. 1992. Internal Conflict and Governance. New York: St. Martin's Press.
Rupesinghe, Kumar, ed. 1994. Conflict Transformation. London: Macmillan.
Rutherford, Danilyn. 1999. Waiting for the End in Biak: Violence, Order, and a Flag Raising. Indonesia 67:39-59.
Ryter, Loren. 1998. Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto's Order? Indonesia 66:45-73.
Saada-Gendron, Julie, ed. 1999. La tolérance. Paris: Flammarion.
Sajor, Indai Lourdes, ed. 1998. Common Grounds: Violence Against Women in War and Armed Conflict Situations. Quezon City: Asian Center for Women's Human Rights.
Salleh, Badriyah Haji. 1993. Kekerasan Dalam Sejarah: Masyarakat dan Pemerintah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 
Samego, Indria, et al. 1997. Bila ABRI Menghendaki. Bandung : Penerbit Mizan.
Sandole, Dennis & Hugo van der Merwe, eds. 1993. Conflict Resolution Theory and Practice: Integration and Application. Manchester: Manchester University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1973. Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in Rural Java in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Singapore: Oxford University Press. 
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006).
Schellenberg, James A. 1996. Conflict Resolution: Theory, Research, and Practice. Albany : State University of New York Press.  
Schiller, Anne. 1997. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity Among the Ngaju of Indonesia. New York: Oxford University Press. 
Schmidt, Bettina & Ingo W. Schröder, eds. 2001. Anthropology of Violence and Conflict. European Association of Social Anthropologists. London & New York: Routledge.
Schulte Nordholt, Henk & Margreet van Till. 1999. Colonial Criminals in Java, 1870-1910. Pp. 47-69 in Rafael, Vince, ed.: Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam. Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University.  
Schulte Nordholt, Henk. 1983. De jago in de schaduw: misdaad en "orde" in de koloniale staat op Java. De Gids 146(8/9):664-75.
Schulte Nordholt, Henk. 2000. Een staat van geweld. Rotterdam: Erasmus Universiteit. 
Schwarz, Adam & Jonathan Paris, eds. 1999. The Politics of Post-Suharto Indonesia. Council on Foreign Relations Press.
Schwarz, Adam. 2000. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. 2nd ed. Boulder, CO: Westview Press.
Scott, James C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven & London: Yale University Press. 
Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press. 
Sellato, Bernard. 1994. Nomads of the Borneo Rainforest. The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down. Honolulu: University of Hawaii Press.  
Sémelin, Jacques. 2000. Les rationalités de la violence extrême; Qu'est-ce qu'un crime de masse? Critique Internationale 6 (Winter):143-58. 
Sémelin, Jacques. 2001. In consideration of massacre. Journal of Genocide Research 3 (3, November):377-89. 
Sémelin, Jacques. 2002. Du massacre au processus génocidaire . Revue Internationale des Sciences Sociales, 174 (December), forthcoming. 
Siagian, Hayaruddin, Abdul Rachman Patji & Rochmawati. 2000. Dinamika Komunalisme: Harmoni dan konflik di Kota Pekan Baru. Jakarta: PMB-LIPI. 
Sibony, Daniel. 1998. Violence. Traversées. Paris: Seuil. 
Siddiq, Achmad, K.h., Khitthah Nahdliyah (Surabaya: Balai Buku, 1979).
Siegel, James T. 1998. A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today. Durham & London: Duke University Press.
Siegel, James T. 1998. Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta. Indonesia 66:75-108.
Sihbudi, Riza, Awani Irewati, Heru Cahyono, Moch Nurhasim, Sri Yanuart, Tri Nuke Pujiastuti. 2001. Konflik di Pantura Jawa: Kasus Pasuruan, Surabaya, Jepara, Pekalongan dan Cirebon. Jakarta: P2P-LIPI. 
Sihbudi, Riza, Awani Irewati, Ikrar Nusa Bahakti, Moch. Nurhasim, Syamsuddin Haris, Tri Ratnawati. 2001. Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, & Riau. LIPI research project. Bandung: Mizan.
Simanjuntak, Togi, ed. 2000. Premanisme Politik. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 
Simmel, Georg. 1995. Le conflit. Préface de Julien Freund. Paris: Circé.
Simons, Anna. 1999. Making Sense of Ethnic Cleansing. Studies in Conflict & Terrorism 22:1-20.
Skidmore, Monique. 2003. Darker than Midnight: Fear, Vulnerability, and Terror in Urban Burma ( Myanmar). American Ethnologist 30(1):5-21.
Sluka, Jeffrey. 2000. Death Squad: The Anthropology of State Terror. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Smith, D. Anthony, The Ethnic Origin of Nations (Oxford: Blackwell, 1986); D. Anthony Smith, "The Nation: Invented, Imagined, Reconstructed?" Millenium Journal of International Studies 20 (1991), hlm. 353-368.
Smith, Glenn and Hélène Bouvier. 2005. Introduction. In Dewi Fortuna Anwar, Hélène Bouvier, Glenn Smith and Roger Tol, eds. Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: Yayasan Obor, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, and KITLV.
Smith, Glenn, "The Violence in Central Kalimantan in 2001: Perspectives from the Victims", makalah South-East Asian Conflict Studies Network Conference, Penang, 12-15 January 2004). 
Smith, Glenn. 1997. Carok Violence in Madura: From Historical Conditions to Contemporary Manifestations. Folk - Journal of the Danish Ethnographic Society 39: 57-75.  
Smith, Glenn. 2001. Emotions et décisions violentes: le cas madourais. In Adam Kiss, ed: Asie-Europe: Les Emotions, pp. 145-19 9. Paris: Harmattan. 
Smith, Glenn. 2003. Levels of Analysis in Conflict Studies. Paper presented to the Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VIII, 9-11 September, Kawasan Bidakara, Jakarta. To be published in 2004 in Masyarakat - Jurnal Sosiologi.
Smith, Glenn. 2004. Violence in Madura: The Interplay of Resource, Culture and History. In Myrdene Anderson, ed., Cultural Shaping of Violence. West Lafayette, Indiana: Purdue University Press.
Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. New York & London: W.W. Norton.
Soedjatmoko at al., An Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965). 
Soeharto. 1989. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada. 
Sofsky, Wolfgang. 1996. Traktat über der Gewalt. Frankfurt am Main: S. Fischer Verlag.  
Sofyan, Muhammad. 1999. Agama dan Kekerasan Dalam Bingkai Reformasi. Yogyakarta: Pressindo.
Sponsel, Leslie & Thomas Gregor, eds. 1994. The Anthropology of Peace and Non-Violence. Boulder, CO: Lynne Rienner.
Sponsel, Leslie. 1996. Peace and Nonviolence. Pp. 908-912 in David Levinson & Melvin Ember, eds., Encyclopedia of Cultural Anthropology, Vol. 3. New York: Henry Holt & Company.
Spores, John C. 1988. Running Amok: An Historical Inquiry. Monographs in International Studies, Southeast Asian Series 82. Athens: Ohio University.
Spores, John C., Running Amok: A Historical Inquiry (Athens: Ohio University, Center for International Studies, 1988).
Sriskandarajah, D. 2000. The End of Serendipity: Political-Economic Explanations of Ethnic Conflict in Sri Lanka. Oxford: Queen Elizabeth House.
Steedly, Mary Margaret. 1999. The State of Culture Theory in the Anthropology of Southeast Asia. Annual Review of Anthropology 28:431-54.
Stewart, Frances & Valpy Fitzgerald, eds. 2001. War and Underdevelopment: The Economic and Social Consequences of Conflict. Oxford: Oxford University Press.
Stewart, Frances, "Horizontal Inequalities as a Source of Conflict", dalam Fen Osler Hampson & David M. Malone [ed.], From Reaction to Conflict Prevention: Opportunities for the UN System (Boulder: Lynne Rienner, 2001).
Stewart, Frances, "Sebab-sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik Dengan Kekerasan" dalam Dewi Fortuna Anwar, Hélène Bouvier, Glenn Smith, dan Roger Tol [ed], Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-LIPI-LASEMA-CNRS-KITLV, 2005).
Stewart, Frances, Horizontal Inequality: A Neglected Dimension of Development (Helsinski: WIDER Annual Development Lecture, 2002).
Stewart, Frances. 2001. Horizontal Inequality: A Neglected Dimension of Development. WIDER Annual Lecture 5. Helsinki: World Institute for Development Economics Research, United Nations University.
Stewart, Frances. 2002. Root Causes of Violent Conflict in Developing Countries. BMJ 324:342-345. http://bmj.com/cgi/reprint/324/7333/342.pdf
Stroschein, Sherrill. 1999. Ethnic Mobilization and Contentious Politics in Romania. 
Subono, Nur Imam, ed. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 
Sugiyono, Prof. Dr., Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005).
Sukandi, A.K. 1999. Politik Kekerasan ORBA: Akankah Terus Berlanjut? Bandung: Mizan. 
Supriatma, A. Made Tony, ed. 1997. 1996: Tahun Kekerasan. Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 
Surata, Agus & Tuhana Taufiq Andrianto. 2001. Atasi Konflik Etnis. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. 
Suryadinata, Leo., et.al., Indonesian's Population (Singapore: Southeast Asia Institute, 2003).
Tahalele, Paul, Frans Parera & Thomas Santoso, eds. 2001. Indonesia di Persimpangan Kekuasaan. Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik. Kata pengantar: Ulil Abshar-Abdalla. Jakarta: Go-East Institute.
Tambiah, Stanley J. 1986. Sri Lanka: Ethnic Fratricide and the Dismantling of Democracy. Chicago: University of Chicago.
Taussig, Michael. 1987. Shamanism, Colonialism and the Wild Man: A Study in Terror and Healing. Chicago: University of Chicago Press.
Terray, Emmanuel. 1999. Clausewitz. Paris: Fayard.
Tim Peleliti Fisipol. 2000. Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian Antara Komunitas Madura Kalbar Dengan Komunitas Dayak Tahun 1996/1997 dan Antara Komunitas Madura Sambas Dengan Komunitas Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & Pontianak: Fisipol Untan.